SIRKULASI
TERMOHALINE
By:
Yuanita Prastika Wuri/230210110070
Tugas Oseanografi Fisika
Dapat diketahui bahwa kemampuan laut dalam menyerap
dan menyimpan panas pada beberapa daerah di bumi berbeda-beda. Pada
daerah tropis dimana intensitas sinar matahari berlangsung sepanjang tahun,
suhu air laut cenderung lebih hangat. Semakin ke arah kutub, intensitas sinar
matahari semakin berkurang sehingga suhu air laut juga cenderung berkurang.
Pada daerah dengan suhu tinggi, tingkat penguapan air laut juga tinggi sehingga
salinitas dan tekanan air meningkat. Hal ini memicu pergerakan massa air laut dari daerah bertekanan tinggi
ke tekanan rendah. Pada kondisi ini, massa air
hangat yang berada di samudera Pasifik akan bergerak ke samudera Hindia melalui
kepulauan Indonesia
menuju samudera Atlantik bagian utara.
Di Atlantik Utara dimana suhu air laut sangat dingin, massa
air dari daerah hangat tadi, setelah mengalami evaporasi dalam perjalanannya di
daerah tropis dan subtropis, memiliki salinitas dan densitas yang lebih tinggi
dari air laut di Atlantik Utara. Karena memiliki densitas yang tinggi maka massa air ini akan mengalami proses sinking, yaitu
proses turunnya massa
air ke laut dalam. Massa
air laut dalam di perairan Atlantik Utara (North Atlantic Deep Water – NADW)
selanjutnya akan bergerak ke selatan menuju arus polar Antartika. Sebagian massa air tersebut
perlahan bergerak menuju samudera Hindia perlahan naik ke permukaan karena
adanya gradien densitas dan meningkatnya suhu air laut. Sementara sebagian massa NADW mengalir melalui selatan Australia
kemudian perlahan naik di permukaan samudera pasifik. Pergerakan massa air laut secara
global ini membentuk sebuah siklus yang disebut dengan sirkulasi termohalin (Thermohaline Circulation).
Sirkulasi ini terjadi secara dinamis dan seimbang.
Sumber: id.wikipedia.org
Sirkulasi Termohalin adalah sirkulasi samudera skala
besar yang digerakkan oleh gradien densitas global yang dihasilkan melalui panas
permukaan dan fluks air tawar. Gradien densitas adalah variasi densitas di
suatu daerah. Dalam kasus perairan laut, gradien dengan kemiringan nyata
menimbulkan statifikasi konsentrasi salinitas yang berbeda. inilah yang disebut
dengan Haloklin. Fenomena ini pada dasarnya dipengaruhi oleh kenaikan
konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer, terutama adalah karbondioksida (CO2), dinitoksida (N2O), metana (CH4),
sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs) dan hodroflorokarbon
(HFCs). Konsentrasi gas-gas tersebut membentuk efek rumah kaca yang
mengakibatkan pantulan gelombang panjang sinar matahari dari bumi tertahan di
atmosfir dan dipantulkan kembali ke bumi. Efek rumah kaca menggambarkan bahwa
konsentrasi gas tersebut menyebabkan radiasi sinar matahari terperangkap di
atmosfer sehingga menyebabkan suhu bumi mengalami peningkatan.
Bagaimana sirkulasi termohalin dapat mempengaruhi
iklim dan menahan laju perubahan iklim global, inilah yang sedang dikaji banyak
peneliti di dunia. Sejak tahun 1960-an, para ilmuan mulai mengembangkan model
iklim untuk membantu memahami peran laut dalam mengatur iklim. Berdasarkan
hasil riset yang dipublikasikan NASA (Juni 1999), bahwa sepanjang abad ke-20,
laut telah mengurangi sekitar separuh dari pemanasan suhu permukaan. Namun
beberapa penelitian beberapa tahun terakhir mulai meragukan kestabilan
sirkulasi termohalin dalam menahan laju pemanasan global dalam jangka panjang.
Dengan suhu bumi yang semakin meningkat, gas rumah kaca yang terus meningkat
(akibat aktifitas manusia) dan es yang terus mencair, dapat menyebabkan kadar
garam air laut berkurang yang pada gilirannya mengakibatkan titik bekunya
meningkat. Pada musim dingin permukaan air di kutub utara akan membeku dan
menghambat proses pertukaran panas sehingga dapat mengakibatkan perubahan
sirkulasi air laut yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya perubahan
iklim.
Toggweiler dan M. Key, mengatakan bahwa pendinginan laut di
daerah lintang tinggi membuat permukaan air di kutub lebih padat dibanding
dengan perairan hangat di lintang yang lebih rendah sehingga dapat mendinginkan
sirkulasi termohalin pada daerah dingin. Salinitas tinggi pada air laut yang
melalui samudera Atlantik secara dangkal di ketahui akan memberi kontribusi
positif bagi kekuatan dan kestabilan sirkulasi termohalin. Hal ini tidaklah
benar, karena siklus air tawar antara laut dan atmosfer (siklus hidrologi) di
daerah lintang tinggi menyebabkan penambahan konsentrasi air tawar pada daerah
tersebut sehingga dapat mengurangi kepadatan (salinitas) air permukaan kutub.
Siklus hidrologi bumi diprediksikan menjadi lebih kuat pada masa akan datang
dengan terus berlangsungnya pemanasan global. Hal ini diprediksi dapat
memperlemah sirkulasi termohalin dengan sangat mendadak dan tidak dapat
diprediksi sebelumnya.
Manabe dan Stouffer (1993) memproyeksikan bahwa kenaikan kada
CO2 sebesar
empat kali lipat dapat menyebabkan sirkulasi termohalin collaps. Secara
substansial, ini akan menyebabkan lapisan termoklin (lapisan air laut yang
memisahkan air hangat permukaan dengan air laut dalam yang dingin-berada pada
kisaran 80 – 1000 meter) menjadi lebih dalam dan terjadi pergeseran dalam
pertukaran panas antara belahan bumi bagian utara dan selatan. Hal ini juga
akan menyebabkan berkurangnya laju suplai nutrisi terhadap biota laut di
permukaan dan berkurangnya kandungan oksigen di laut dalam secara drastis.
Banyak konsensus lainnya yang coba memprediksi respon sirkulasi termohalin
terhadap pemanasan global. Lebih dari itu, Wood, R., A. et al (2003) mengatakan
bahwa semua proyeksi konsensus dari beberapa model yang telah dianalisa oleh
beberapa peneliti menyatakan bahwa sirkulasi termohalin akan semakin melemah atau tidak berubah dalam
satu abad ke depan dalam merespon meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca.
Kedua konsep tersebut harus dibaca dalam konteks model teori “ketidakpastian
tingkat tinggi”. Beberapa pendekatan untuk mengurangi ketidakpastian ini adalah
(a) mengidentifikasi proses-utama (key processes) untuk mengendalikan
kestabilan dan kekuatan sirkulasi termohalin dengan menggunakan beberapa model,
dan (b) menguji proses-proses yang dimodelkan tersebut dengan pengujian lapangan
(observationally based test). Untuk saat ini, kita masih berada pada posisi
pertama (a).
Salah satu yang berperan penting adalah Salinitas air
laut. Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam
tanah.
Evaporasi yang terjadi menyebabkan pada daerah dengan
suhu tinggi, tingkat penguapan air laut juga tinggi sehingga salinitas dan
tekanan air meningkat. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di
tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini,
secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan
sebagai air payau atau
menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine. Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas:
1.
Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di
suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah
tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.
2.
Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu
wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin
sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.
Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapa danau garam di
daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut
umumnya. Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik
yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas yang terlarut. Garam-garaman
utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55,04%), natrium (30,61%),
sulfat (7,68%), magnesium (3.69%), kalsium (1,16%), kalium (1,10%) dan sisanya
(kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida . Tiga sumber
utama dari garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas
vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) di laut
dalam. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti:
densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi
maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat
(viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh
salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut
(salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat air laut.
Karena mengandung garam, titik beku air laut menjadi lebih rendah daripada 0 0C (air laut yang
bersalinitas 35 %o titik bekunya -1,9 0C), sementara kerapatannya meningkat sampai titik
beku (kerapatan maksimum air murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini sangat
penting sebagai penggerak pertukaran massa
air panas dan dingin, memungkinkan air permukaan yang dingin terbentuk dan
tenggelam ke dasar sementara air dengan suhu yang lebih hangat akan terangkat
ke atas. Sedangkan titik beku dibawah 00 C memungkinkan kolom air laut tidak
membeku. Sifat air laut yang dipengaruhi langsung oleh salinitas adalah
konduktivitas dan tekanan osmosis.
Pada dasarnya, alam kita selalu bergerak menuju titik
keseimbangannya (ekuilibrium). Selama manusia masih tetap berkontribusi
terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (anthropogenic contribution),
sehingga memicu pemanasan global, maka suhu global juga akan bergerak menuju
titik keseimbangannya. Sirkulasi termohaline sebagai salah satu komponen sistem
alam yang mempengaruhi iklim bumi juga akan mengalami perubahan, baik kekuatan
maupun kestabilannya, sampai pada ambang batasnya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar