Sabtu, 25 Mei 2013

THERMOHALINE CIRCULATION


SIRKULASI TERMOHALINE
By: Yuanita Prastika Wuri/230210110070
Tugas Oseanografi Fisika
Dapat diketahui bahwa kemampuan laut dalam menyerap dan menyimpan panas pada beberapa daerah di bumi berbeda-beda.  Pada daerah tropis dimana intensitas sinar matahari berlangsung sepanjang tahun, suhu air laut cenderung lebih hangat. Semakin ke arah kutub, intensitas sinar matahari semakin berkurang sehingga suhu air laut juga cenderung berkurang. Pada daerah dengan suhu tinggi, tingkat penguapan air laut juga tinggi sehingga salinitas dan tekanan air meningkat. Hal ini memicu pergerakan massa air laut dari daerah bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Pada kondisi ini, massa air hangat yang berada di samudera Pasifik akan bergerak ke samudera Hindia melalui kepulauan Indonesia menuju samudera Atlantik bagian utara.
Di Atlantik Utara dimana suhu air laut sangat dingin, massa air dari daerah hangat tadi, setelah mengalami evaporasi dalam perjalanannya di daerah tropis dan subtropis, memiliki salinitas dan densitas yang lebih tinggi dari air laut di Atlantik Utara. Karena memiliki densitas yang tinggi maka massa air ini akan mengalami proses sinking, yaitu proses turunnya massa air ke laut dalam. Massa air laut dalam di perairan Atlantik Utara (North Atlantic Deep Water – NADW) selanjutnya akan bergerak ke selatan menuju arus polar Antartika. Sebagian massa air tersebut perlahan bergerak menuju samudera Hindia perlahan naik ke permukaan karena adanya gradien densitas dan meningkatnya suhu air laut. Sementara sebagian massa NADW mengalir melalui selatan Australia kemudian perlahan naik di permukaan samudera pasifik. Pergerakan massa air laut secara global ini membentuk sebuah siklus yang disebut dengan sirkulasi termohalin (Thermohaline Circulation). Sirkulasi ini terjadi secara dinamis dan seimbang.




Sumber: id.wikipedia.org

Sirkulasi Termohalin adalah sirkulasi samudera skala besar yang digerakkan oleh gradien densitas global yang dihasilkan melalui panas permukaan dan fluks air tawar. Gradien densitas adalah variasi densitas di suatu daerah. Dalam kasus perairan laut, gradien dengan kemiringan nyata menimbulkan statifikasi konsentrasi salinitas yang berbeda. inilah yang disebut dengan Haloklin. Fenomena ini pada dasarnya dipengaruhi oleh kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer, terutama adalah karbondioksida (CO2), dinitoksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs) dan hodroflorokarbon (HFCs). Konsentrasi gas-gas tersebut membentuk efek rumah kaca yang mengakibatkan pantulan gelombang panjang sinar matahari dari bumi tertahan di atmosfir dan dipantulkan kembali ke bumi. Efek rumah kaca menggambarkan bahwa konsentrasi gas tersebut menyebabkan radiasi sinar matahari terperangkap di atmosfer sehingga menyebabkan suhu bumi mengalami peningkatan.
Bagaimana sirkulasi termohalin dapat mempengaruhi iklim dan menahan laju perubahan iklim global, inilah yang sedang dikaji banyak peneliti di dunia. Sejak tahun 1960-an, para ilmuan mulai mengembangkan model iklim untuk membantu memahami peran laut dalam mengatur iklim. Berdasarkan hasil riset yang dipublikasikan NASA (Juni 1999), bahwa sepanjang abad ke-20, laut telah mengurangi sekitar separuh dari pemanasan suhu permukaan. Namun beberapa penelitian beberapa tahun terakhir mulai meragukan kestabilan sirkulasi termohalin dalam menahan laju pemanasan global dalam jangka panjang. Dengan suhu bumi yang semakin meningkat, gas rumah kaca yang terus meningkat (akibat aktifitas manusia) dan es yang terus mencair, dapat menyebabkan kadar garam air laut berkurang yang pada gilirannya mengakibatkan titik bekunya meningkat. Pada musim dingin permukaan air di kutub utara akan membeku dan menghambat proses pertukaran panas sehingga dapat mengakibatkan perubahan sirkulasi air laut yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.
Toggweiler dan M. Key, mengatakan bahwa pendinginan laut di daerah lintang tinggi membuat permukaan air di kutub lebih padat dibanding dengan perairan hangat di lintang yang lebih rendah sehingga dapat mendinginkan sirkulasi termohalin pada daerah dingin. Salinitas tinggi pada air laut yang melalui samudera Atlantik secara dangkal di ketahui akan memberi kontribusi positif bagi kekuatan dan kestabilan sirkulasi termohalin. Hal ini tidaklah benar, karena siklus air tawar antara laut dan atmosfer (siklus hidrologi) di daerah lintang tinggi menyebabkan penambahan konsentrasi air tawar pada daerah tersebut sehingga dapat mengurangi kepadatan (salinitas) air permukaan kutub. Siklus hidrologi bumi diprediksikan menjadi lebih kuat pada masa akan datang dengan terus berlangsungnya pemanasan global. Hal ini diprediksi dapat memperlemah sirkulasi termohalin dengan sangat mendadak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Manabe dan Stouffer (1993) memproyeksikan bahwa kenaikan kada CO2 sebesar empat kali lipat dapat menyebabkan sirkulasi termohalin collaps. Secara substansial, ini akan menyebabkan lapisan termoklin (lapisan air laut yang memisahkan air hangat permukaan dengan air laut dalam yang dingin-berada pada kisaran 80 – 1000 meter) menjadi lebih dalam dan terjadi pergeseran dalam pertukaran panas antara belahan bumi bagian utara dan selatan. Hal ini juga akan menyebabkan berkurangnya laju suplai nutrisi terhadap biota laut di permukaan dan berkurangnya kandungan oksigen di laut dalam secara drastis. Banyak konsensus lainnya yang coba memprediksi respon sirkulasi termohalin terhadap pemanasan global. Lebih dari itu, Wood, R., A. et al (2003) mengatakan bahwa semua proyeksi konsensus dari beberapa model yang telah dianalisa oleh beberapa peneliti menyatakan bahwa sirkulasi termohalin akan semakin melemah atau tidak berubah dalam satu abad ke depan dalam merespon meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Kedua konsep tersebut harus dibaca dalam konteks model teori “ketidakpastian tingkat tinggi”. Beberapa pendekatan untuk mengurangi ketidakpastian ini adalah (a) mengidentifikasi proses-utama (key processes) untuk mengendalikan kestabilan dan kekuatan sirkulasi termohalin dengan menggunakan beberapa model, dan (b) menguji proses-proses yang dimodelkan tersebut dengan pengujian lapangan (observationally based test). Untuk saat ini, kita masih berada pada posisi pertama (a).
Salah satu yang berperan penting adalah Salinitas air laut. Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah.
Evaporasi yang terjadi menyebabkan pada daerah dengan suhu tinggi, tingkat penguapan air laut juga tinggi sehingga salinitas dan tekanan air meningkat. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar.  Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine. Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas:
1.      Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.
2.      Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.
Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut umumnya. Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas yang terlarut. Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55,04%), natrium (30,61%), sulfat (7,68%), magnesium (3.69%), kalsium (1,16%), kalium (1,10%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama dari garam-garaman di laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat air laut. Karena mengandung garam, titik beku air laut menjadi lebih rendah daripada 0 0C (air laut yang bersalinitas 35 %o titik bekunya -1,9 0C), sementara kerapatannya meningkat sampai titik beku (kerapatan maksimum air murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini sangat penting sebagai penggerak pertukaran massa air panas dan dingin, memungkinkan air permukaan yang dingin terbentuk dan tenggelam ke dasar sementara air dengan suhu yang lebih hangat akan terangkat ke atas. Sedangkan titik beku dibawah 00 C memungkinkan kolom air laut tidak membeku. Sifat air laut yang dipengaruhi langsung oleh salinitas adalah konduktivitas dan tekanan osmosis.
Pada dasarnya, alam kita selalu bergerak menuju titik keseimbangannya (ekuilibrium). Selama manusia masih tetap berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (anthropogenic contribution), sehingga memicu pemanasan global, maka suhu global juga akan bergerak menuju titik keseimbangannya. Sirkulasi termohaline sebagai salah satu komponen sistem alam yang mempengaruhi iklim bumi juga akan mengalami perubahan, baik kekuatan maupun kestabilannya, sampai pada ambang batasnya.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar